Tugu BONO Ku Sayang, Tugu BONO Ku Malang

Riausindo, PELALAWAN– Satu-satunya bangunan yang muncul di Pangkalan Kerinci pada masa kepemimpinan Bupati Zukri hanyalah Tugu BONO. Tugu ini berdiri di perempatan perkantoran Bhakti Praja Kabupaten Pelalawan. Sementara itu, bangunan-bangunan lain yang ada hanyalah hasil dari periode bupati sebelumnya, yang kini hanya berubah warna menjadi merah.

Saat kita mengingat janji yang disampaikan kepada masyarakat melalui visual master plan, harapan kita melambung. Kita membayangkan Pangkalan Kerinci menjadi kota kecil yang tertata rapi, dengan kanal pengendali banjir, pengelolaan sampah ramah lingkungan, serta fasilitas-fasilitas pendukung masyarakat yang menjamur. Namun, semua itu hanya menjadi bayangan semu yang jauh dari kenyataan. Apa yang terjadi dengan lapangan bola kaki di Pangkalan Kerinci? Apa nasib gerai makan di kawasan pangker? Semua harapan seakan menguap begitu saja.

Tugu BONO,  yang awalnya diharapkan menjadi kebanggaan Kabupaten Pelalawan, dibangun dengan dana Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM) dari PT Energi Mega Persada (PT EMP) Bentu melalui Corporate Social Responsibility (CSR) dengan nilai fantastis, yaitu 7,8 miliar rupiah. Angka ini tentu saja membuat kita bertanya-tanya, terutama ketika melihat bentuk dan kualitas proyek yang ada.

Namun, mari kita tinggalkan soal bahan baku tugu tersebut. Yang lebih penting adalah substansi dan asas manfaat dari kehadiran Tugu BONO ini. Dalam konsep CSR yang telah diatur oleh pemerintah, setiap program CSR harus memperhatikan aspek kebutuhan masyarakat dan lingkungan sekitar. Aturan yang mendasari pelaksanaan CSR adalah:

Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012,  tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, serta, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dari peraturan tersebut, ada beberapa aspek mendasar yang seharusnya menjadi prioritas perusahaan dalam menyalurkan dana CSR, yaitu:

1. Kegiatan Sosial, seperti program pemberdayaan masyarakat, pendidikan, dan kesehatan.

2. Pelestarian Lingkungan, termasuk pengelolaan limbah, pengurangan emisi, dan konservasi sumber daya alam.

3. Etika Bisnis, berupa praktik bisnis yang transparan, adil, dan menghormati hak-hak pekerja.

Jika kita merujuk kembali pada keberadaan Tugu BONO, rasanya tidak ada satu pun poin di atas yang terpenuhi. Tugu tersebut malah kerap dikaitkan dengan perencanaan yang minim, bahkan menciptakan titik rawan kecelakaan.

Yang paling menyedihkan adalah, perusahaan EMP Bentu beroperasi di Kecamatan Langgam, Pelalawan. Ada begitu banyak kebutuhan mendasar yang bisa lebih diprioritaskan dengan anggaran 8 miliar tersebut. Jika dana sebesar itu digunakan untuk pengembangan UMKM bagi warga miskin di sekitar operasional perusahaan, misalnya, dengan bantuan 50 juta per keluarga, setidaknya 160 keluarga bisa terbantu dan keluar dari kemiskinan dalam setahun.

Masih banyak warga di Kecamatan Langgam yang hidup dalam kemiskinan, sulit menyekolahkan anak-anak mereka, dan harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika dana sebesar itu digunakan untuk memperbaiki fasilitas pendidikan atau kesehatan, berapa banyak sekolah yang bisa dipugar? Berapa banyak anak yang bisa belajar tanpa atap yang bocor atau fasilitas yang lapuk?

Kesimpulannya, keberadaan Tugu BONO hanyalah sebuah proyek yang belum menjadi prioritas, terutama jika dibandingkan dengan kebutuhan dasar masyarakat. CSR yang diharapkan menjadi berkah, justru berubah menjadi proyek mubazir dengan anggaran fantastis namun tak tepat sasaran, dan tidak sesuai dengan amanah peraturan yang ada. ***

Oleh : Redaksi Riausindo.



[Ikuti Terus RiauSindo Melalui Sosial Media]