Riau Bersedih:

Bayang Suram di Bumi Lancang Kuning Pasca Penetapan Gubernur Abdul Wahid sebagai Tersangka oleh KPK

Pekanbaru,(Riausindo.com) — Awan kelam kembali menyelimuti Bumi Lancang Kuning. Rasa haru, kecewa, dan sedih kini menyatu di hati masyarakat Riau setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Gubernur Riau, Abdul Wahid, sebagai tersangka dalam dugaan kasus korupsi yang menyeret sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau.

Penetapan ini seolah mengulang babak suram yang berkali-kali menimpa provinsi kaya sumber daya alam ini. Riau, yang pernah dikenal sebagai salah satu daerah paling potensial di Indonesia, justru kerap menjadi sorotan karena kasus-kasus korupsi yang melibatkan para pemimpinnya. Kini, nama Abdul Wahid menambah daftar panjang gubernur Riau yang terjerat hukum setelah sebelumnya juga menimpa Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Maamun.

Operasi tangkap tangan (OTT) dilakukan oleh KPK di Provinsi Riau pada Senin, 3 November 2025. Dalam operasi senyap tersebut, tim KPK mengamankan 10 orang, termasuk Gubernur Abdul Wahid dan sejumlah pejabat Pemprov Riau.

Dugaan awal menyebutkan kasus ini berkaitan dengan pengaturan proyek infrastruktur di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Riau. Modus yang digunakan diduga berupa pemotongan fee proyek atau “jatah preman” yang melibatkan pihak-pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan pribadi.

KPK menyebut, dari hasil pemeriksaan awal, terdapat indikasi kuat adanya praktik pemerasan terhadap rekanan proyek yang dilakukan secara sistematis. Sejumlah barang bukti juga telah diamankan untuk memperkuat proses penyelidikan.

Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) terakhir pada 31 Maret 2024, Abdul Wahid tercatat memiliki total kekayaan sebesar Rp 4,8 miliar. Rinciannya antara lain:

12 bidang tanah dan bangunan hasil sendiri senilai Rp 4,9 miliar.

Kendaraan pribadi berupa Toyota Fortuner (2016) dan Mitsubishi Pajero (2017) senilai sekitar Rp 780 juta.

Kas dan setara kas Rp 621 juta.

Utang tercatat sebesar Rp 1,5 miliar.

Meski jumlahnya tergolong wajar untuk pejabat setingkat gubernur, sorotan publik kini tertuju pada sumber aliran dana yang diduga terkait dengan proyek-proyek pemerintah.

Di berbagai kalangan, suasana duka terasa. Banyak masyarakat yang mengaku kecewa dan kehilangan kepercayaan terhadap kepemimpinan daerah. Di media sosial, warganet Riau mengekspresikan kesedihan mereka dengan kata-kata pilu, doa, dan harapan agar kejadian serupa tidak terus terulang.

“Kami lelah, Riau seharusnya sudah maju, bukan terus jadi berita karena korupsi,” tulis salah satu warganet di media sosial.

Sementara di lingkungan pemerintahan, suasana disebut cukup tegang. Sejumlah pejabat memilih untuk tidak berkomentar dan menunggu hasil penyelidikan KPK. Namun, roda pemerintahan dipastikan tetap berjalan agar pelayanan publik tidak terhenti di tengah badai hukum dan politik yang sedang berlangsung.

Bagi masyarakat Riau, peristiwa ini bukan sekadar kabar hukum — ini luka batin kolektif. Harapan untuk memiliki pemimpin yang bersih, jujur, dan membawa perubahan nyata kembali diuji.

Kini Riau berada di persimpangan jalan: antara terus larut dalam kekecewaan atau bangkit menuntut perubahan yang lebih bermartabat. Dalam situasi penuh keprihatinan ini, suara masyarakat menyeru agar hukum ditegakkan seadil-adilnya tanpa pandang bulu, serta agar seluruh elemen daerah bersatu menjaga marwah Riau.

Lebih dari sekadar nama dan jabatan, yang kini dipertaruhkan adalah harga diri dan masa depan provinsi yang kaya namun sering terluka ini.

Riau bersedih, namun semoga dari kesedihan ini lahir kesadaran baru — bahwa negeri ini layak dipimpin oleh orang-orang yang benar-benar tulus, bersih, dan berpihak kepada rakyat.*** 

Penulis : Jhon Hendri, Ketua Forum Wartawan Lingkungan Environment Riau.



[Ikuti Terus RiauSindo Melalui Sosial Media]