Puisi Brigjen Jossy Menggema di Rumah Tuan Kadi: Suara Alam dan Nurani dari Tanah Melayu

Ahad, 22 Juni 2025 - 07:14:03 WIB

Pekanbaru,(Riausindo.com) — Malam sunyi di tepian Sungai Siak mendadak bergetar, bukan oleh dentuman, melainkan oleh kata-kata. 

Sabtu (21/06/2025), dalam suasana temaram di Rumah Singgah Tuan Kadi, Wakapolda Riau Brigjen Jossy Kusumo membacakan puisi karya Ustaz Abdul Somad (UAS) berjudul “Ketika Jossy Menyendiri”. 

Momen ini menjadi sorotan dalam peringatan Hari Bhayangkara ke-79 yang tak biasa—lebih dari seremoni, ini adalah panggung nurani.

Dengan latar budaya Melayu dan cahaya lampu yang redup, Brigjen Jossy naik ke panggung. Suaranya pelan tapi tegas, membawa hadirin larut dalam narasi lingkungan yang terluka, satwa yang merintih, dan budaya yang nyaris tercerabut.

“Ketika Meranti menjadi peti mati. Ketika Elang mengerang. Ketika Rajawali terikat tali. Ketika Gajah marah. Ketika Harimau dipukau…”

Larik-larik ini menyayat keheningan malam. Puisi yang ditulis UAS dalam perjalanannya dari Palangkaraya ke Tumbang Samba itu bukan sekadar refleksi pribadi, tapi seruan kolektif tentang hutan yang terancam, binatang yang kehilangan rumah, dan manusia yang lupa arah.

Seni dan Suara Rakyat di Panggung Bhayangkara

Acara ini bukan sekadar agenda resmi kepolisian. Di tangan Polda Riau, Hari Bhayangkara menjelma jadi ruang perjumpaan antara seni dan masyarakat, antara tradisi dan kepedulian sosial. Ada lomba pantun, puisi, cipta lagu, hingga bakti sosial dan layanan kesehatan gratis untuk warga.

Puisi Brigjen Jossy menjadi klimaks yang menyatukan semuanya. Saat ia melanjutkan:

“Pohon dimohon, kayu dirayu. Merangkul tidak memukul. Bismillah kaki melangkah.”

...tepuk tangan pecah. Hadirin yang terdiri dari Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan, Wali Kota Pekanbaru Agung Nugroho, pengamat politik Rocky Gerung, jajaran Forkopimda, tokoh adat dan budayawan semua terpaku oleh kekuatan kata yang membela alam dan nilai.

Melayu Menjaga, Bukan Merusak

Dalam pernyataan usainya, Brigjen Jossy menegaskan bahwa puisi itu bukan hanya pembacaan, tapi peringatan.

“Menjaga hutan bukan hanya tugas aparat. Ini soal budaya dan moral kita sebagai orang Melayu. Kalau bukan kita yang merawat warisan ini, siapa lagi?”

Malam itu, Rumah Tuan Kadi menjadi saksi bahwa Hari Bhayangkara bukan hanya milik polisi, tetapi juga milik mereka yang mencintai bumi, budaya, dan bangsa. Riau tak hanya memperingati, tapi menghidupkan kembali semangat untuk merawat yang tersisa.

( Ocu Ad  )