Prosedur Penetapan Tersangka Selamat Raharjo Tidak Berdasarkan KUHAP dan Putusan MK No 130/PUU/XIII/

Selasa, 22 Februari 2022 - 23:12:45 WIB

Riausindo-SIAK- Sidang pra peradilan terhadap termohon Kepolisian Resort Siak, terkait persoalan penetapan tersangka Selamet Raharjo Bin Ponirin yang berujung di tahannya pada tanggal 25 Januari 2022 kembali di lanjutkan di Pengadilan Negeri Siak Senin (21/2/22) dengan agenda menghadirkan ahli Hukum pidana dan Hukum Acara Pidana dari pihak pemohon, Alat Bukti Surat, Saksi dan Ahli dari pihak Termohon.

Sidang yang di pimpin oleh hakim Tunggal RINA WAHYU YULIATI, S.H., juga di hadiri penasehat hukum slamat Raharjo Birman Simamora S.H., M.H. serta pihak termohon Kepolisian Resort Siak berjalan lancar.

Dalam persidangan terungkap menurut saksi ahli Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana  Erdiansyah, S.H., M.H. dalam proses penyelesaian Perkara pidana penyidik harus benar-benar professional dalam menentukan pasal apa yang dijeratkan kepada calon tersangka, sehingga sebelum proses penyidikan perkara pidana Penyidik/Termohon wajib menyertakan Surat Perintah dimulainya Penyelidikan (SPDP) kapada Pelapor, Terlapor dan Jaksa Penuntut Umum, dasar hukumnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU/XIII/2015

Dikutip dari Jawaban Termohon pada halaman 9 dengan tegas Termohon menyampaikan alasannya tidak menyampaikan SPDP kepada Terlapor/Pemohon adalah : Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) tidak diberikan/disampaikan kepada PEMOHON/Terlapor  mendalilkan  bahwa surat pemberitahuan  dimulainya  penyidikan nomor : SPDP/75/XII/RES.1.24/2021/Satreskrim tanggal 9 Desember 2021 tidak disampaikan oleh TERMOHON kepada PEMOHON selaku calon Tersangka. Pasal 7 ayat (1)  huruf  g   KUHAP dan Pasal 16  ayat (1)  huruf f UU Nomor  2 tahun  2002  tentang  Polri  telah  mengatur  bahwa  TERMOHON selaku Penyidik berwenang  untuk melakukan  penyidikan; Pasal   1      angka   5   KUHAP   telah    mengatur    bahwa 

"Penyidikan   adalah serangkaian  tindakan  Penyidik  dalam  hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan  bukti itu membuat  terang  tentang  tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan Tersangkanya"; Dikutip dari jawaban Termohon halaman 9 “Yang menjadi penyebab sehingga TERMOHON tidak bisa memberikan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan nomor :  SPDP/75/XII/RES.1.24/2021/Satreskrim tanggal 9 Desember 2021  kepada  PEMOHON /TERLAPOR adalah  dikarenakan dalam Laporan Polisi nomor: LP/B/327/Xll/2021/SPKT.Sat Reskrim/Polres Siak/Polda  Riau tanggal  9 Desember  2021  yang  dibuat oleh  Pelapor  bernama IRWANSYAH  tidak tercantum nama PEMOHON sebagai Terlapor  sehingga dengan demikian tentu saja TERMOHON tidak bisa memberikan SPDP  tersebut kepada  PEMOHON  sebab kewajiban  yang diharuskan oleh Putusan  Mahkamah Konstitusi nomor: 130/PUU-Xlll/2015 tanggal 11 Januari 2017 adalah  pemberian SPDP kepada Penuntut Umum, Terlapor  dan  korban/Pelapor,  dengan  adanya fakta ini  maka  menjadi jelas  bahwa tidak  terjadinya  penyerahan  SPDP perkara ini kepada PEMOHON sebaga Terlapor bukanlah kesalahan TERMOHON melainkan memang  fakta  keadaan  yang  tidak  memungkinkan  untuk terjadinya penyerahan  SPDP tersebut kepada PEMOHON;

"Nah kita melihat dalam proses perkara ini pihak termohon tidak memberikan dan menyampaikan SPDP kepada pemohon/terlapor dengan dalih, tidak tercantumnya nama terlapor (Pemohon) oleh Pelapor sehingga dengan kejadian ini,  ada aturan  MK yang mereka kangkangi dan  menyebabkan penetapan tersangka pada Pemohon Cacat Formil” ujar Ahli Pidana dan Hukum Acara Pidana Ardiansyah, S.H., M.H.

Penasehat Hukum Selamat Raharjo Birman Simamora, S.H., M.H. mengatakan Pengakuan Termohon ini sudah sangat jelas tidak melaksanakan kewajibannya selaku Penyidik yang mengakibatkan Penetapan tersangka adalah Cacat Formil/in Prosudural, dengan dasar pengakuan Termohon menjadikan dasar bagi Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara Praperadilan ini untuk mengabulkan Permohonan Pemohon.

Kita harus memaklumi adapun filosofi Putusan MK didasarkan pada pertimbangan bahwa terlapor yang telah mendapatkan SPDP, maka yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasihat hukum yang akan mendampinginya, sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya,” Ujar Birman Simamora, S.H., M.H.

Padahal Slamet Raharjo, dinilai tidak melakukan kesalahan sebab persoalan lahan yang di kuasainya memiliki bukti kepemilikan berupa SKT dan SKGR tahun 2000 tahun 2003 dan tahun 2008, dia membeli pada bulan Februari 2021 dan selama ini pihak penjual menguasai objek, bahkan tanaman sawitnya pun sudah mengegrek dan akan di remajakan kembali.

Sementara Pemerintah telah menerbitkan  UUCK,  telah diatur dalam Pasal 110A dan Pasal 110B terkait dengan penyelenggaraan kehutanan dan turunannya adalah PP No.24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan. PP tersebut mengatur bahwa petani sawit di Kawasan hutan sebelum UUCK disahkan dan diundangkan dikenaka sanksi administratif bukan sanksi Pidana, Ujar Penasehat Hukum Selamat Raharjo bin Ponirin.*** ( JC)