Prosedur Penetapan Tersangka Selamat Raharjo Tidak Berdasarkan KUHAP dan Putusan MK No 130/PUU/XIII/

Riausindo-SIAK- Sidang pra peradilan terhadap termohon Kepolisian Resort Siak, terkait persoalan penetapan tersangka Selamet Raharjo Bin Ponirin yang berujung di tahannya pada tanggal 25 Januari 2022 kembali di lanjutkan di Pengadilan Negeri Siak Senin (21/2/22) dengan agenda menghadirkan ahli Hukum pidana dan Hukum Acara Pidana dari pihak pemohon, Alat Bukti Surat, Saksi dan Ahli dari pihak Termohon.
Sidang yang di pimpin oleh hakim Tunggal RINA WAHYU YULIATI, S.H., juga di hadiri penasehat hukum slamat Raharjo Birman Simamora S.H., M.H. serta pihak termohon Kepolisian Resort Siak berjalan lancar.
Dalam persidangan terungkap menurut saksi ahli Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Erdiansyah, S.H., M.H. dalam proses penyelesaian Perkara pidana penyidik harus benar-benar professional dalam menentukan pasal apa yang dijeratkan kepada calon tersangka, sehingga sebelum proses penyidikan perkara pidana Penyidik/Termohon wajib menyertakan Surat Perintah dimulainya Penyelidikan (SPDP) kapada Pelapor, Terlapor dan Jaksa Penuntut Umum, dasar hukumnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU/XIII/2015
Dikutip dari Jawaban Termohon pada halaman 9 dengan tegas Termohon menyampaikan alasannya tidak menyampaikan SPDP kepada Terlapor/Pemohon adalah : Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) tidak diberikan/disampaikan kepada PEMOHON/Terlapor mendalilkan bahwa surat pemberitahuan dimulainya penyidikan nomor : SPDP/75/XII/RES.1.24/2021/Satreskrim tanggal 9 Desember 2021 tidak disampaikan oleh TERMOHON kepada PEMOHON selaku calon Tersangka. Pasal 7 ayat (1) huruf g KUHAP dan Pasal 16 ayat (1) huruf f UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri telah mengatur bahwa TERMOHON selaku Penyidik berwenang untuk melakukan penyidikan; Pasal 1 angka 5 KUHAP telah mengatur bahwa
"Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan Tersangkanya"; Dikutip dari jawaban Termohon halaman 9 “Yang menjadi penyebab sehingga TERMOHON tidak bisa memberikan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan nomor : SPDP/75/XII/RES.1.24/2021/Satreskrim tanggal 9 Desember 2021 kepada PEMOHON /TERLAPOR adalah dikarenakan dalam Laporan Polisi nomor: LP/B/327/Xll/2021/SPKT.Sat Reskrim/Polres Siak/Polda Riau tanggal 9 Desember 2021 yang dibuat oleh Pelapor bernama IRWANSYAH tidak tercantum nama PEMOHON sebagai Terlapor sehingga dengan demikian tentu saja TERMOHON tidak bisa memberikan SPDP tersebut kepada PEMOHON sebab kewajiban yang diharuskan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi nomor: 130/PUU-Xlll/2015 tanggal 11 Januari 2017 adalah pemberian SPDP kepada Penuntut Umum, Terlapor dan korban/Pelapor, dengan adanya fakta ini maka menjadi jelas bahwa tidak terjadinya penyerahan SPDP perkara ini kepada PEMOHON sebaga Terlapor bukanlah kesalahan TERMOHON melainkan memang fakta keadaan yang tidak memungkinkan untuk terjadinya penyerahan SPDP tersebut kepada PEMOHON;
"Nah kita melihat dalam proses perkara ini pihak termohon tidak memberikan dan menyampaikan SPDP kepada pemohon/terlapor dengan dalih, tidak tercantumnya nama terlapor (Pemohon) oleh Pelapor sehingga dengan kejadian ini, ada aturan MK yang mereka kangkangi dan menyebabkan penetapan tersangka pada Pemohon Cacat Formil” ujar Ahli Pidana dan Hukum Acara Pidana Ardiansyah, S.H., M.H.
Penasehat Hukum Selamat Raharjo Birman Simamora, S.H., M.H. mengatakan Pengakuan Termohon ini sudah sangat jelas tidak melaksanakan kewajibannya selaku Penyidik yang mengakibatkan Penetapan tersangka adalah Cacat Formil/in Prosudural, dengan dasar pengakuan Termohon menjadikan dasar bagi Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara Praperadilan ini untuk mengabulkan Permohonan Pemohon.
Kita harus memaklumi adapun filosofi Putusan MK didasarkan pada pertimbangan bahwa terlapor yang telah mendapatkan SPDP, maka yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasihat hukum yang akan mendampinginya, sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya,” Ujar Birman Simamora, S.H., M.H.
Padahal Slamet Raharjo, dinilai tidak melakukan kesalahan sebab persoalan lahan yang di kuasainya memiliki bukti kepemilikan berupa SKT dan SKGR tahun 2000 tahun 2003 dan tahun 2008, dia membeli pada bulan Februari 2021 dan selama ini pihak penjual menguasai objek, bahkan tanaman sawitnya pun sudah mengegrek dan akan di remajakan kembali.
Sementara Pemerintah telah menerbitkan UUCK, telah diatur dalam Pasal 110A dan Pasal 110B terkait dengan penyelenggaraan kehutanan dan turunannya adalah PP No.24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan. PP tersebut mengatur bahwa petani sawit di Kawasan hutan sebelum UUCK disahkan dan diundangkan dikenaka sanksi administratif bukan sanksi Pidana, Ujar Penasehat Hukum Selamat Raharjo bin Ponirin.*** ( JC)